Fina mengangguk setuju, meskipun rasa takut mulai merayap di dalam hatinya. Mereka berdua merangkak masuk ke dalam gua. Di dalam, suasana gelap dan lembab. Aroma tanah basah menyelimuti udara.
“Wow, lihat dindingnya!” seru Budi, menunjuk ke dinding gua yang dipenuhi dengan ukiran kuno. “Apa menurutmu ini karya manusia?”
Fina mendekat dan menyentuh salah satu ukiran. “Sepertinya iya. Tapi siapa yang membuatnya?”
Sebelum Budi sempat menjawab, mereka mendengar suara gemerisik di ujung gua. “Budi, kamu dengar itu?” tanya Fina, suaranya bergetar.
“Ya, aku dengar. Sepertinya dari sana,” jawab Budi sambil menunjuk ke arah suara.
Dengan hati-hati, mereka melangkah lebih jauh ke dalam gua. Semakin mendekat, suara itu semakin jelas. Ternyata, di sudut gua, ada seorang perempuan tua duduk di atas batu besar. Rambutnya putih dan kusut, mengenakan pakaian compang-camping.
“Siapa kalian?” tanya perempuan itu dengan suara parau.
Fina dan Budi saling tatap, merasa terkejut. “Kami… kami hanya berjalan-jalan,” jawab Fina ragu.
“Jangan dekat-dekat! Ini bukan tempat untuk anak muda,” perempuan itu berkata dengan nada memperingatkan.
“Maaf, Bu. Kami tidak bermaksud mengganggu,” Budi berkata dengan hormat. “Tapi, Ibu siapa? Kenapa bisa ada di sini?”
Perempuan itu tersenyum sinis. “Aku penjaga hutan ini. Banyak yang mencari sesuatu di sini, tetapi tak seorang pun kembali.”
Fina merasakan bulu kuduknya meremang. “Mencari apa, Bu?”
“Bayangan. Semua yang datang akan terjebak dalam bayangannya sendiri. Jika kamu ingin pergi, harus tahu cara keluar dari sini,” jawab perempuan itu, matanya menatap tajam.

















