“Apa maksud Ibu dengan bayangan?” tanya Budi.
“Bayangan adalah kenyataan yang kamu takuti. Hanya yang berani menghadapi akan bisa keluar,” perempuan itu menjelaskan, suaranya menggema di dalam gua.
Fina dan Budi saling pandang. “Kami tidak takut,” kata Fina, mencoba menunjukkan keberanian.
“Coba lihat ke dalam dirimu. Apa yang kamu takutkan?” tanya perempuan itu lagi.
Fina menutup matanya, membayangkan segala ketakutannya. Ketakutan akan masa depan, akan kehilangan orang-orang terkasih. “Aku takut tidak bisa mencapai impianku,” ucapnya pelan.
“Dan kamu, Budi?” perempuan itu beralih ke Budi.
Budi menghela napas. “Aku takut tidak dihargai oleh orang lain. Merasa tidak berarti,” jawabnya jujur.
Perempuan tua itu tersenyum lembut. “Baiklah, hadapi bayanganmu. Hanya dengan cara itu, kamu bisa keluar.”
Setelah itu, suasana dalam gua mulai bergetar. Dinding-dindingnya seolah bergetar, dan bayangan gelap muncul di sekitar mereka. Fina merasakan jiwanya terombang-ambing, terperangkap dalam ketakutan.
“Fina! Kita harus keluar!” seru Budi, tetapi bayangan semakin mendekat, seolah ingin menarik mereka ke dalam.
“Beranikan diri, Fina! Ingat impianmu!” suara Budi memotivasi.
Fina menggenggam erat tangan Budi, dan mereka berusaha melawan ketakutan itu. “Aku ingin menjadi dokter! Aku tidak akan menyerah!” teriaknya, suaranya menggema di dalam gua.
Budi menambahkan, “Dan aku ingin membuat orang lain tersenyum! Kami tidak akan biarkan ketakutan menguasai kami!”
Bayangan itu mulai pudar, dan sinar mulai menyusup ke dalam gua. Perempuan tua itu tersenyum lebar, dan saat itu juga, bayangan itu hilang sepenuhnya.

















