...
Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Artikel

CERPEN Empat Sekawan Asrama Timur

73
×

CERPEN Empat Sekawan Asrama Timur

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

KORESPONDEN INDONESIA – Suara bel masuk sore itu menggema di seluruh area sekolah asrama. Sinar matahari sudah mulai condong ke barat, tapi halaman sekolah masih ramai. Di antara puluhan siswa yang lalu-lalang, empat remaja tampak berjalan beriringan sambil tertawa.

Mereka adalah Andi, Budi, Fajar, dan Surya — empat sekawan yang sejak awal masuk sekolah asrama sudah tak terpisahkan.

“Eh, malam ini kita belajar bareng di aula, kan?” tanya Fajar sambil menepuk bahu Surya.

“Belajar? Lo yakin, Jar?” sahut Andi sambil terkekeh. “Yang gue tahu, belajar lo itu cuma lima menit, sisanya main gitar.”

Budi langsung tertawa keras. “Bener tuh! Gitaran terus, lagunya juga itu-itu aja. ‘Kangen’ lagi, ‘Kangen’ lagi!”

Surya hanya nyengir, lalu menatap mereka satu per satu. “Kalau nggak karena gue, kalian pasti pada stres belajar terus. Harus ada hiburan dikit, Bro!”

Mereka tertawa bersamaan, sampai akhirnya bel tanda masuk asrama berbunyi keras. Mereka pun berlari menuju barak.

Asrama Timur — tempat mereka tinggal — terkenal dengan aturan keras dari Pak Iwan, pembina asrama yang wajahnya selalu serius. Bagi para siswa, nama Pak Iwan identik dengan dua hal: disiplin dan hukuman.

Suatu malam, ketika jam belajar wajib dimulai, empat sekawan itu bukannya di ruang belajar, tapi malah nongkrong di belakang dapur asrama.

“Tenang aja, Pak Iwan lagi patroli di sisi barat,” kata Budi sambil menyalakan senter kecil.

“Kalau ketahuan, tamat hidup kita,” timpal Fajar.

Surya menepuk pundak Fajar. “Santai, hidup cuma sekali. Nikmatin!”

Andi mengeluarkan bungkus mi instan dari saku jaketnya. “Nih, gue bawa alat tempur.”

“Mi rebus tengah malam, gila sih!” seru Budi tertawa pelan.

BACA JUGA :  Sah atau Tidak? Akad Nikah dengan Lafaz Arab Dijelaskan

Mereka memasak mi dengan peralatan seadanya, memakai kaleng bekas dan air panas curian dari dispenser guru. Bau harum mi pun menyebar ke udara malam.

“Kayak gini baru namanya hidup di asrama,” ujar Surya sambil mengaduk mi.

Namun, baru dua suap mereka nikmati, suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan.

Tok… tok… tok…

“Eh, itu bukan suara Pak Iwan, kan?” bisik Fajar panik.

Budi langsung mematikan senter. Mereka semua menahan napas. Tapi langkah kaki itu makin mendekat.

“Siapa di sana!” terdengar suara berat khas Pak Iwan.

Empat sekawan saling pandang, wajah pucat seketika. Surya berbisik cepat, “Lari atau ngaku?”

Andi menjawab lirih, “Kalau lari, ketahuan. Kalau ngaku… tamat.”

Langkah kaki berhenti tepat di depan dapur. Sinar senter menyorot wajah mereka.

“HAH! Kalian lagi ngapain di sini?” bentak Pak Iwan dengan nada menggelegar.

“M-masak mi, Pak…” jawab Fajar dengan suara kecil.

“Jam segini? Bukannya jam belajar?!”

Tak ada yang berani menjawab. Pak Iwan menatap mereka satu per satu, lalu menarik napas panjang.

“Besok pagi kalian empat orang datang ke lapangan jam lima. Bawa ember, sapu, dan pel!” katanya tegas sebelum pergi.

Begitu sosok Pak Iwan menghilang di kegelapan, mereka semua terdiam.

“Gue bilang juga apa, hidup kita tamat,” gumam Andi pelan.

Surya masih mencoba tertawa. “Setidaknya mi-nya enak sebelum ditangkap.”

Keesokan paginya, empat sekawan sudah berdiri di lapangan dengan mata sayu dan wajah kusut. Embun pagi masih menempel di rumput, sementara Pak Iwan datang membawa clipboard.

“Kalian pikir saya nggak tahu apa yang kalian lakukan setiap malam?” katanya datar. “Saya tahu kalian sering bolos belajar, keluar asrama, bahkan ke warung depan!”

BACA JUGA :  Cek Harga Emas Antam Hari Ini, Turun Sedikit Tapi Stabil

“Maaf, Pak,” jawab Andi mewakili teman-temannya.

Pak Iwan menatap mereka lama, lalu tersenyum tipis. “Kalian ini sebenarnya anak-anak pintar, tapi terlalu banyak gaya. Mulai hari ini, kalian jadi tim kebersihan asrama selama seminggu. Setuju?”

“Setuju, Pak,” jawab mereka serempak.

Sejak hari itu, pagi-pagi mereka sudah terlihat menyapu halaman, mengepel lantai aula, dan mencuci kamar mandi. Awalnya mereka mengeluh, tapi lama-lama semua jadi bahan tawa baru.

“Eh, Budi, pel-nya jangan ke arah gue!” teriak Surya sambil menghindar.

“Kalau lo nggak ngelawak terus, kerjaan kita udah selesai dari tadi,” balas Budi.

Pak Iwan yang melihat dari jauh hanya menggeleng, tapi diam-diam tersenyum kecil.

Waktu berjalan cepat. Tahun-tahun di asrama berlalu penuh kenangan — dari belajar hingga dihukum bersama. Mereka sering bilang, “Asrama itu bukan penjara, tapi tempat kita belajar hidup.”

Hingga akhirnya hari kelulusan tiba. Aula besar sekolah penuh siswa memakai seragam rapi. Empat sekawan berdiri di barisan paling belakang, menatap panggung dengan mata berkaca-kaca.

“Gila, kita lulus juga,” ujar Fajar pelan.

“Dan nggak dikeluarkan,” timpal Andi sambil tertawa.

Pak Iwan yang sedang membagikan ijazah sempat menatap mereka. Setelah acara selesai, ia mendekati mereka dan berkata, “Kalian berempat bikin saya pusing selama tiga tahun, tapi juga bikin saya bangga.”

Budi menunduk. “Maaf, Pak, kalau kami sering bikin masalah.”

Pak Iwan menepuk bahu mereka satu per satu. “Masalah bukan selalu hal buruk. Dari masalah, kalian belajar tanggung jawab.”

Surya menatap guru itu dengan senyum lebar. “Jadi, kalau suatu saat kami ke sini lagi, jangan lupa siapkan mi instan ya, Pak.”

Pak Iwan tertawa keras, mungkin untuk pertama kalinya mereka mendengarnya begitu lepas. “Kalian ini… tetap saja bikin ribut!”

BACA JUGA :  Mengenal Hantu Indonesia yang Bikin Merinding Malam

Beberapa tahun kemudian, mereka berempat masih sering berkabar lewat grup WhatsApp bernama Asrama Timur Never Dies. Setiap kali mereka bertemu, cerita lama tentang hukuman Pak Iwan selalu jadi bahan tawa.

Budi yang sekarang kerja di bank sering berkata, “Gue bisa disiplin karena dulu disuruh bersihin asrama tiap pagi.”

Andi yang jadi guru malah meniru gaya bicara Pak Iwan di kelas. “Saya tahu kalian sering bolos belajar!” katanya menirukan dengan nada berat.

Fajar jadi musisi, dan Surya membuka kedai kopi kecil yang dinamai “Mi Rebuan”, terinspirasi dari malam ketika mereka ketahuan.

Suatu sore, empat sekawan itu kembali ke sekolah lama mereka. Pak Iwan sudah pensiun, tapi tetap tinggal di rumah dinas dekat asrama. Saat mereka mengetuk pintu, wajah tua itu muncul dengan senyum hangat.

“Lho, empat biang kerok datang juga,” katanya.

“Bukan biang kerok, Pak. Sekarang kami orang sukses,” jawab Surya sambil tertawa.

Pak Iwan mempersilakan mereka masuk, lalu menatap mereka dengan bangga. “Saya senang kalian nggak lupa asal-usul. Kalian dulu bandel, tapi hati kalian baik.”

Fajar mengambil gitar dan mulai memetik lagu lama mereka. Suaranya mengalun lembut di ruang tamu kecil itu.

Sore itu, mereka duduk bersama sambil mengenang masa lalu — masa ketika empat remaja nakal belajar arti persahabatan, tanggung jawab, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Dan di tengah tawa yang pecah, Pak Iwan berkata pelan, “Kalau waktu bisa diulang, saya tetap mau punya murid seperti kalian.”

Empat sekawan itu terdiam sejenak, lalu tertawa bersama.

Malam yang dulu penuh kenakalan, kini menjadi cerita indah yang akan mereka bawa seumur hidup.

— Tamat —

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari Koresponden Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca