KORESPONDEN INDONESIA – Insiden penembakan yang menimpa lima pekerja migran Indonesia oleh aparat Malaysia di perairan Tanjung Rhu, Selangor, pada Jumat, 24 Januari lalu, menyisakan luka mendalam, terutama bagi keluarga korban yang berasal dari Aceh. Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, tidak tinggal diam. Ia langsung memberikan respons tegas terhadap peristiwa ini, meminta agar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur memberikan pendampingan hukum kepada para korban.
“Kami mendesak KBRI dan Kemenlu untuk memastikan hak-hak korban dipenuhi, mulai dari perawatan medis hingga pemulihan mereka. Kami juga meminta biaya perawatan mereka di rumah sakit hingga sembuh sepenuhnya,” ujar Safrizal dalam keterangan resmi yang diterima pada Kamis, 30 Januari 2025.
Dalam keterangannya, Safrizal juga menekankan pentingnya melakukan investigasi menyeluruh atas insiden ini. Ia menyebutkan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat Malaysia harus menjadi salah satu fokus dalam penyelidikan.
“Kami minta agar Kemenlu mendorong otoritas Malaysia untuk menyelidiki insiden ini secara transparan dan akurat. KBRI Kuala Lumpur harus terus mengumpulkan informasi lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang jelas tentang kejadian tersebut,” tambah Safrizal.
Pj Gubernur Aceh juga menginstruksikan KBRI untuk mempersiapkan langkah hukum, termasuk melibatkan pengacara dari pihak kedutaan untuk memastikan hak-hak hukum para korban tidak diabaikan.
Salah satu korban, seorang pekerja migran asal Riau berinisial B, dilaporkan meninggal dunia dalam kejadian tersebut. Proses otopsi telah dilakukan, dan jenazah B dijadwalkan dipulangkan ke Indonesia pada Rabu, 29 Januari lalu.
Empat korban lainnya, yang terdiri dari dua orang asal Riau, HA dan MZ, serta dua lainnya dari Aceh, MH dan AR, mengalami luka-luka dan saat ini sedang dirawat intensif di rumah sakit Serdang dan Klang di Malaysia.
KBRI Kuala Lumpur sudah mengunjungi para korban yang sedang dirawat dan melakukan akses konsuler pada Selasa, 28 Januari lalu. Berdasarkan keterangan dari HA dan MZ, para korban menegaskan tidak ada perlawanan yang dilakukan terhadap aparat Malaysia, meski insiden tersebut terjadi di tengah perairan yang dikuasai oleh pihak berwenang Malaysia.